04 May 2012

Model-Model Implementasi Kebijaksanaan Negara

Sekalipun Dalam Khasanah ilmu kebijaksanaan negara atau analisis kebijaksanaan negar atelah banyak di kembangkan model-model atau teori yang membahas tentang implementasi kebijaksanaan, namun dalam sub Bab ini penulis Akan membecirakan beberapa model implementasi kebijaksanaan yang relative baru dan banyak mempengaruhi berbagai pemikiran maupun tulisan.

A. Model Yang dikembangkan oleh Brian W. Hogwood dan lewis A. Gunn (1978; 1986) model Hill, 19850).Menurut HoogwoD Dan Gunn, untuk dapat mengimplementasikan kebijaksanaan negara secara sempurna (perpect implementation) maka diperlukan beberapa persyaratan tertentu. Syarat-syarat itu adalah sebagai berikut: 1. Kondisi secara eksternal yang di hadapi oleh badan/ instansi pelaksanaan tidak Akan menimbulkan gangguan Kendala yang Serius. Beberapa kendla atau hambatan (constrains) pada saat implementasi kebijaksanaan serigkali berada di luar kendali para administrator, sebab-sebab hambatan itu memang di luar jangkauan mereka ini kerap kali oleh para ahli disebut sebagai” the top down approach” (Lihat: Ham dan wewenang kebijaksanaan dan badan pelaksana. Bersifat fisik missal kalau program pembangunan pertanian pada suatu wilayah terbengkalai dan mengalami kemacetan total lantaran musim kemarau berkepanjangan atau karena perkembangbiakan Hama penyakit tanaman. 2. Untuk Pelaksanaan Program Tersedia waktu dan sumber-sumber yang cukup Memadai Syarat kedua ini sebagian Tunpang tindih dengan syarat pertama, didalam pengertian kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Alasan yang biasanya di kemukakan ialah terlalu banyak berharap dalam waktu yang terlalu pendek, Khususnya jika persoalannya menyangkut sikap dan perilaku 9misalnya usaha-usaha untuk mwngubah sikap diskriminatif masyarakat terhadap orang-orang cacat tubuh/cacat mental.atau bekas narapidana,bekas pelacur dan lain sebagai nya,alas an lain nya ialah,bahwa para politisi kadangkala hanya peduli dengan pencapaian tujuan,sehingga tindakan-tindakan pembatasan/pemotongan terhadap pembiayaan program mungkin akan membahayakan upaya pencapaian tujuan program karna sumber-sumber nya tidak memadai. Masalah lain yang biasa nya terjadi ialah apabila dana khusus untuk membiayai pelaksanaan program sudah tersedia, perlu pula di tegaskan di sini, bahwa dana/uang itu pada dasarnya bukanlah resources/sumber itu sendiri.Kekhawatiran mengenai keharusan untuk mengembalikan dana proyek yang tidak terpakai habis pada setiap akhir tahun anggaran seringkali menjadi penyebab kenapa instasi-instasi pemerintah, baik pusat maupun daerah, sehingga karena takut dana itu menjadi hangus. 3. Perpaduan sumber-sumber yang di perlukan benar-benar tersedia. Persyaratan ketiga ini lazimnya mengikuti persyaratan kedua di atas, pada setiap tahapan proses implementasinya perpaduan di antara sumber tersebut harus benar-benar dapat disediakan. Dalam praktek, khususnya bila hal itu menyangkut proyek-proyek konstruksi, perpaduan antara Dana Tenaga kerja, tanah, peralatan, dan bahan-bahan bangunan yang diperlukan, untuk membangun proyek tersebut seharusnya dapat dipersiapkan secara serentak, ternyata salah satu proyek mengalami keterlambatan dalam penyediaannya sehingga berakibat proyek tersebut tertunda pelaksanaan dan penyelesaiannya dalam bebrapa bulan. Tanggung jawab utama untuk mengimplementasikan program atau proyek secara tepat sudah tentu berada di pundak para staf administrasi, sebab merekalah yang pada umum nya telah dibekali Dengan sejumlah kemampuan teknik administrasi tertentu, sehingga dapat diharap bahwa sejak dini setiap hambatan yg bakal terjadi dapat diantisipasi/diperkirakan seebelum nya, tindakan yang cepat dan tepat dapat segera di lakukan. 4. Kebijaksanaan yang Akan di implementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal. Kebijaksanaan kadangkala tidak dapat diimplementasikan secara efektif bukan lantaran ia telah diimplementasikan secara sembrono/asal-asalan,karena kebijaksanaan itu telah telah didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadai mengenai persoalan yang akan ditanggulangi, Dalam kaitan ini pressman dan wildavsky (1973)menyatakan secara tegas bahwa setiap kebijaksanaan pamerintah pada hakikat nya memuat hipotesis(sekalipun tidak secara eksplesit,pen,)Dasar pemikiran yang digunakan oleh pembuat kebijaksanaan slalu berupa pernyataan,jika X dilakukan pada waktu Teretentu(W1), maka Y akan terjadi pada waktu tertentu (W2) menurut logika kebijaksanaan pada dasarnya memuat suatu teori mengenai hubungan sebab akibat. Oleh karena itu, apabila kelak kebijaksanaan itu gagal, maka kemungkinan penyebabnya bersumber pada ketidaktepatan teori yang menjadi landasan kebijaksanaan tadi dan bukan karena implementasinya yang keliru 5. Hubungan kasaulitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai perhubungannya. Pada kebanyakan progrsm pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijaksanaan jauh lebih kompleks dari pada skandar berupa: jika X dilakukan, maka terjadi Y Dan mata rantai hubunga kausalitasnya hanya sekedar jika X makaterjadi Y, dan jika Y Terjadi maka akan di ikuti Z.Dengan perkataan lain, semakin banyak hubungan dalam mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa beberapa diantaranya kelak terbukti amat lemah atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik. 6. Hubungan Saling Ketergantungan Harus Kecil. Implementas yang sepurna menuntut persyaratan hanya terdapat badan pelaksana tunggal (single agency), yang untuk keberhasilan misi yang di embannya, tidak perlu tergantung pada badan-badan lain, ataupun pelaksanaannya harus melibatkan badan-badan/atau instansi-instansil lainnya, maka hubungan ketergantungan dengan organisasi-organisasi haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun Kadar kepentingannya. 7. Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan teradap tujuan. Persyratan ini mengharuskan adanya pemahaman yang menyeluru mengenai, dan kesepakatan terhadap, tujuan dan sasaran yang Akan di capai, yang pnting, keadaan ini harus bias di pertahankan selama proses implementasi. Kendatipun demikian, berbagai penelitian tentang mengungkapkan, bahwa dalam kehidupan nyata tujuan yang Akan di capai organisasi atau suatu program tidak jarang sukar untuk di identifikasikan atau telah di rumuskan dalam istilah-istilah yang kabur. Kecendrungan manapun yang bakal terjadi, Akan menyebabkan rumitnya implementasi, dari uraian-uraian ini sekali lafi kita dapat menyksikan bahwa penyebab kegagalan implementasi kebijaksanaan itu mungkin berasal dari tahap-tahap lain dari proses kebijaksanaan. 8. Tugas-tugas diperinci dan di tempatkan dalam urutan yang tepat. Persyaratan ini mengandung makna bahwa dalam mengayunkan langkah menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah di spakati, masih di mungkinkan untuk memerinci dan menyusun dalam urutan-urutan yang tepat seluruh tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap pihak yang terlibat.semisal network planning and control, sedikitnya dapat di mamfaatkan untuk merencanakan dan mengendalikan implementasi proyek dengan cara mengidentifikasikan tugas-tugas yang harus di mselesaikan. 9. Komunikasi dan kordinasi yang sempurna. Persyaratan ini menggariskan bawa haru ada komunikasi dan kordinasi yang sempurna dii berbagai unsure atau badan yang terlibat dalam program. Hood (19760 dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang sempurna adalah barangkali di perlukan system administrasi tunggal (unitary administrative system) seperti hal nya satu tentara yang besar yang hanya memiliki satuan komando tanpa kompartementalisasi atau konflik di dalamnya Umumnya. Kordinasi sudah barang tentu bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan imformsai ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan pula menyangkut persoalan-persoalan yang lebih mendasar, yakni praktek pelaksanaan kekuasaan. Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan yang sempurna Pernyataan ini menjelaskan bahwa harus terdapat kondisi ketundukan penuh dan tidak ada penolakan Sama sekali terhadap perinth/komando dalam apapun dalam system administrasiitu. Dengan kata lain, persyaratan ini menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang seharusnya mereka juga mereka memiliki kekuasaan dan mampu menjamin tumbuh kembangnya sikap patuh menyeluruh dan serentak dari pihak-pihak lain (baik berasal dari dalam kalangan dalam badan/organisasi sendiri maupun yang breasal dari luar). B. Model yang dikembangkan oleh van meter dan van Horn (1975), yang di sebut sebagai A Model of policy implementation process (model proses implementasi kebijaksanaan). Van meter dan van horn dari teorinya beranjak dari suatu argument bahwa perbedaan dalam proses implementasi akan dipengaruhi oleh sifat keijaksanaan yang akan di laksanakan. Dengan memamfaatkan konsep-konsep tersebut, maka permasalahan yang prlu dikaji dalam hubungan ini ialah hambatan-hambatan apakah yang terjadi dalam mengenalkan perubahan dalam organisasi? Seberapa jauh tingkat efektitas mekanisme-mekanisme control pada setiap jenjang tsruktur? Masalah ini menyangkut kekuasaan dari pihak yang paling rendah tingkatannya dalam organisasi bersangkutan). Atas dasar apa pandangan seperti ini van meter dan van horn kemudian berusaha membuat tipologi kebijaksanaan menurut: a) Jumlah masing-masing perubahan yang akan dihasilkan dan b) Jangkauan dan lingkup kesepakatan terhadap tujuan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam proses implementasi. Hal lain yang di kemukakan oleh kedua ahli diatas adalah jalan yang menghubungkan antara kebijaksanaan dan prestasi kerja di pisahkan oleh sejumlah variable bebas (indevenden variable) yang saling berkaitan.variabel-variabel itu ialah: 1. Ukuran dan tujuan kebijaksanaan. 2. Sumber-sumber kebijaksanaan 3. .ciri-ciri atau sifat badan/instansi pelaksana. 4. Komunikasi antar oorganisasi terkait dan kegiatan pelaksanaan. 5. Sikap para pelaksana. 6. Lingkungan ekonomi, sosial politik. C. Model yang di kembangkan oleh Daniel mazmanian dan Paul A. frame work for imflementation anlisys (kerangka analisis implementasi). Kedua hali ini berpendapat bahwa peran penting dari implementasi kebijaksanaan negara adalah mengidentifikasi variable-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan pormal pada keseluruhan proses implementasi. 1. Mudah tidaknya masalah yang aka digarap dikendalikan. 2. Kemampuan keputusan kebijaksanaan untuk menstrukturkan secarab tepat implementasinya. 3. Pengaruh langsung berbagai variable politik terhadap keseimbangan dukungan bagi tujuan yang 4. Termuat dalam keputusan kebijaksanaan tersebut. Terlepas dari kenyataan bahwa banyak sekali kesukaran-kesukaran yang di jumpai dalam implementasi program-program pemerintah sebenarnya ada sejumlah masalah-masalah sosial yang jauh lebih mudahuntuk di tangani bila di bandingkan dengan masalah lain nya.pada kasus pertama, berbeda dari kasus yang kedua, telah di peroleh gambaran yang cukup jelas mengenai aspek-aspek teknis dari permasalahan. Kesukaran-kesukaran teknis. Tercapai atau tidaknya suatu program nakan tergantung pada sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya kemampuan untuk mengembangkan indicator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsiphubungan kausal yang mempengaruhi masalah.perlu dijelaskan disini bahwa, tingkat keberhasilan kebanyakan program akan di pengaruhi pula tersedianya atau telah di kembangkannya teknologi tertentu. Pertama , setiap program jelas akan menyangkut masalah biaya, yang biasanya harus dihimpun dari pajak (dan dikenakkan pada para wajib pajak, serta dari kelompok-kelompok sasaran.kedua perdebatan yang sengit mengenai tersedianya teknologi yang menjadi syarat dapet di laksanakan suatu program baru mungkin akan menimbulkan desakan-desakan keras dari berbagai pihak untuk menunda sementara waktu maksud pencapaian tujuan yang telah di gariskan dalam keputusan kebijaksanaan hingga di peroleh kepastian bahwa telah tersedia sarana atau teknologi yang dapat menjamin efektifitas pencapaian tujuan tersebut. Keragaman prilaku yang di atur. Semakin beragam prilaku yang di ataur atau aemakin beragam pelayanan yang di berikan, semakin sulit upaya untuk membuat peraturan yang tegas dan jelas, dengan demikian semakin besar kebebasan bertindak yang harus diberikan kepada para penjabat lapangan. Persentase totalitas penduduk yang tercakup alam kelompok sasaran. Secara umum dapat di katakana disini, bahwa semakin kecil dan semakin jelas(dapat di bedakan dari kelompik lain) kelompok sasaran yang prilakunya akan di ubah, maka semakin besar pula peluang untuk memobilisasikan dukungan poloitik terhadap program dan demikian akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijaksanaan. Tingkat ruang lingkup perubahan prilaku yang dikehendaki. Jumlah modifikasi prilaku yang di inginkan bagi tercpainya tujuan formal/tujuan undang-undang adalah fungsi dari tujuan total orang yang menjadi kelompok sasaran dan jumlah perubahan yang di tuntut dari mereka variabel-variabel yang di uraikan di bawah ini bahwa suatu permasalahan sosial pada umumnya akan akan lebih dapat kita kendalikan. 1. Tersedia teori yang andal yang mampu menjelaskan hubungan antara perubahan perilaku dan pemecahan masalah, persyaratan teknologinya di penuhi, dan tindakan langkah yang dimaksudkan untuk mengatasi masalah tersebut tidak mahal. 2. Variasi/perbedaan perilaku yang menyebabkan timbulnya masalah yang relatif kecil. 3. Kelompok sasaran tersebut nerupakan sebagian kecil dari totalitas penduduk suatu wilayah. 4. Tingkat dan ruang lingkup perubahan prilaku yang di inginkan sedang. Pada prinsipnya, setiap keputusan undang-undang keputusan mahkamah/pengadilan atau perintah ekskutif dapat menstrukturkan proses implementasi ini dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan forma.lYang akan dcapainya, dengan cara memberikan kewenagan da dukugnan sumber-sumber financial pada lembaga-lembaga tersebut, dan dengan cara memberikan kesempatan berpartisipasi bagi pihak-pihak swasta atau swadaya masyarakat proses implementasi itu. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tutjuan-tujuan resmi yang Akan di capai. Tujuan-tujuan resmi yang akan dirumuskn dengan ccermat yang dan disusunsecara jelas sesuai dengan urutan kepentingannya memainkan peranan yang amat penting sebagai alat bantu dalam mengevaluasi program, sebagai pedoman yang kongkrit bagi penjabat-penjabat pelaksana dan sumber dukungan sebagai tujuan itu sendiri. Tujuan yang jelas dapat pula berperan selaku sumber-sumber bagi para aktor/pelaku yang terlibat baik actor-aktor yang berada diluar lembaga-lembaga tersebut, misalnya dalam hal yang menjadi perbedaan persepsi yang menjadi output (apa yang dilakukan) lembaga-lembaga pelaksana dengan apa yang tertuang dalam tujuan-tujuan resmi kebijaksanaan khususnya jika peraturannya memberikan peluang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses implementasi. Dengan pendek dapat dikatakan, bahwa semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk yang cermat dan disusun menurut urutan kepentingannya bagi para penjabat pelaksana dan aktor-aktor lainnya, semakin besar pula kemungkinan output kebijaksanaan dari badan-badan pelaksana, dan pada gilirannya,prilaku kelompok-kelompok sasaran, akan sejalan dengan petujuk-petunjuk tersebut. Keterandalan teori kausalitas yang dipergunaka. Setiap usaha pembaharuan sosial besar-besaran, setidaknya secara implicit, memuat suatu teori kausal tertentu yang menjelaskan bagaimana kira-kira tujuan usaha pembaharuan itu akan dicapai. a) Bahwa hubungan-hubungan timbale balik campur tangan pemerintah di satu pihak, dan tercapainya tujuan-tujuan program dapat dipahami dengan jelas. b) Bahwapara penjabat yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program mempunyai kewenangan yang cukup atas segala matarantai hubungan yang penting guna mengusahakan tercapainya tujuan. Ketepatan Alokasi sumber-sumber Dana Dana tak dapat di sangkal merupakan salah satu factor penentu dalam program masyarakat apapun.tersedianya Dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat di perlukan agar terbuka peluang-peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal, dan tersedianya Dana di atas tingkat batas ambang iniakan sebanding dengan tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Pada umumnya, keputusan kebijaksanaanlah yang menetapkan tingkat batas ambang penyediaan Dana ini. Keterpaduan hierarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga/instansi-instansi pelaksana Dalam berbagai keputusan implementasi kebijaksanaan, yang di tulis para ahli, misalnya buah karya jefferry pressman dan Aaronwildavsky (1979), Eugene bardach (1977), Elmore dan Paul Berman (1978) senantiasa menyebutkan kesukaran-kesukaran untuk mewujudkan tindakan yang terkoordinasikan di dalam badan /instansi tertentu dan diantara sejumlah besar badan-badan semiotonom yang terlibat dalam usaha-usaha implementasi. Salah satu cirri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hierarki badan-badan pelaksana. Tingkat perpaduan hierarki diantara badan-badan pelaksana tersebut sedikit banyak akan dipengaruhi oleh: a) Jumlah titik-titik veto/pihak-pihak yang dapat membatalkan keputusan (veto points) yang terdapat dalam usaha pencapaian tujuan formal. b) Sebarapa jauh para pendukung bagi tercapainya tujuan memiliki cukup pengaruh dan wewenang memberikan sanksi guna tumbuhnya kepatuhan dikalangan mereka yang memiliki potensi untuk memveto. Titik-titik veto disini mencakup semua peristiwa atau keadaan dimana seorang actor mempunyai kemampuan untuk merintangi upaya pencapaian tujuan formal yang telah di gariskan dalam peraturan. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa apabila ada sanksi-sanksi dan pengaruh-pengaruh tersebut cukup besar, maka jumlah titik-titik veto itu akan dapat menghambat sakalipun barangkali tidak mampu merintangi kepatuhan kelompok-kelompok sasaran. Aturan-aturan pembuatan keputusan dari badan-badan pelaksana. Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil jumlah titik-titik veto dan insentif yang memadai bagi kepatuhan kelompok-kelompok sasaran, suatu undang-undang masih dapat mempengaruhi lebih lanjut proses implementasi dengan Cara menggariskan secara formal aturan-aturan pembuatan keputusan dari badan-badan pelaksana. Pada komisi-komisi yang memberikan izin atau lisensi, maka aturan main dalam keputusan yang menyangkut pembersian izin tersebut mungkin dapat ditentukan atas dasar consensus-konsensus tertentu, semisal 2/3 dari jumlah suara harus menyetujui. Kesepakatan para penjabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-undang/peraturan. Bagaimana baiknya suatu undang-undang atau suatu keputusan-keputusan kebijaksanaan dasarlainnya mensrukturkan proses keputusan formal, setiap program baru pada hakikatnya membutuhkan pelaksana-pelaksana yang memiliki hasrat kuat untuk mengembangkan atura-aturan dan prosedur-prosedur pelaksanaan pekeerjaan. Pada prinsifnya ada beberapa Cara yang dapat di tempuh olegh pembuat undang-undang/ peraturan untuk menjamin bahwa para penjabat pelaksana memiliki kesepakatan yang di syaratkan demi tercapainya tujuan.dengan maksud agar program itu menjadi prioritas utamanya dan penciptaan pos-pos baru itu Akan membuka pintu bagi berbondong-bondongnya pendukung undang-undang tersebut. Akses formal pihak-pihak luar. Faktor lain yang dapat menpengaruhi implementasi kebijaksanaan ialah sejauh mana peluang-peluang untuk berpartisipasi terbuka bagi para actor di luar badan-badan pelaksana mempengaruhi para pendukung tujuan resmi. Ia dapat pula mempengaruhi partisipasi dua kelompok actor di luar badan-badan pelaksanan tersebut. a) Calon-calon oenerima mamfaat dan atau kelompok-kelompok sasaran program. b) Badan-badan legeslatif, eksekutif, dan yudikatif yang merupakan atasan-atasan dari badan-badan pelaksana itu. Variable-variabel di luar undang-undang (Non statutory/non legal variables) yang mempengaruhi implementas. Meskipun undang-undanglah yang menetapkan struktur dasar hukum diatas dimana politik implementasi seharusnya berlangsung, namun implementasi sebenarnya mempunyai dinamikanya sendiri yang di dorongnoleh sekurang-kurangnya 2(dua) proses penting. a) Kebutuhan setiap program yang berusaha untuk mengubah perilaku untuk menerima sentuhan-sentuhan dukungan politik yang teratur kalau memang di kehendaki dapat mengatasi hambatan yang timbul dalam upayanya untuk mempeeroleh kerjasamanya dari sejumlah besar orang. b) Dampak-dampak perubahan keadaan sosio-ekonomis dan teknologis pada diri mereka yang menjadi pendukung-pendukung tujuan kebijaksanaan, baik dari masyarakat pada umumnya, kelompok-kelompok kepentingan maupun instansi-instansi atasan dari badan-badan pelaksana itu sendiri. Output kebijaksanaan dari badan-pelaksanaan pada hakikat nya adalah fungsi(akibat) Dari interaksi antara struktur hukum dan proses-proses politik.dan suatu undang-undang dirancang/dirimuskan dengan baik dapat membekali para pejabat itu dengan arah Kebijaksanaan dan sumber-sumber hukum yang memadai timbul nya perubahan-perubahan mendadak dalam pendapat umum. Wilayah-wilayah hukum pemerintah dalam hal kondisi—kondisi sosial, ekonomi dan teknologi berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan dalam suatu undang-undang, sekurang-kurang ada 3(tiga) dimana perbedaan-perbedaan kondisi semacam itu dapat mempengaruhi efektifitas dukungan politik terhadap tujuan-tujuan. Pertama, perbedaan-perbedaan kondisi sosio-ekonomi dapat mempengaruhi persepsi Kadar penting nya masalah yang akan ditanggulangi oleh suatu undang-undang (atau keputusan-keputusan kebijaksanaan dasar lain nya.) Missalnya lebih srius, lebih memerlukan perhatian, Kedua, keberhasilan implementasi mungkin akan lebih sulit dicapai mengingat perbedaan –perbedaan kondisi sosio ekonomis setempatyang memberikan keleluasaan untuk melakukan tindakan-tindakan administrasi tertentu pada satuan-satuan organisasi lokal (badan-badan pelaksana daerah) Ketiga,dukungan terhadap peraturan yang bermaksud untuk melindungi lingkungan-lingkungan atau konsumen/keselamatan kerja nampaknya berkorelasi dengan sumber-sumber keuangan dari kelompok sasaran dan kelompok-kelompok lain yang memiliki posisi strategis dalam sektor ekonomi secara keseluruhan,dari uraian-uraian yang telah dipaparkan di atas terlihat bahwa kondisi-kondisi sosial,ekonomi dan teknologi merupakan beberapa variabel eksternl kunci yang dapat mempengarihi output-output kebijaksanaan badan-badan pelaksana. Dukungan Publik. Perbedaan-perbedaan waktu dan perbedaan wilyah hukum dalam dukungan public bagi tujuan undang-undang adalah merupakan variabel kedua yang dapat mempengaruhi implementasi,perhatian public dan juga perhatian media.perhatian dan dukungan public terhadap suatu masalah begitu mengebu-gebu,kemudian dukunssgan yang luas itu merosot secara tajam karna orang mulai menyadari ongkos untuk mengatasi masalah tersebut karna isu lain yang memenuhi agenda politik dukungan publik biasa saja pada suatu ketika bangkit kembali karena bukti-bukti baru yang dramatis bahwa masalah tetap saja ada missalnya kecelakaan dalam reaktor nuklir,tumpah minyak dilaut. Pada system politik yang relatif demokratis, khalayak dapat pula mempengeruhi proses implementasi melelui sekurang-kurangnya dengan 3 Cara yaitu sebagai berikut: 1. Pendapat umum (dan interaksinya dengan media Massa) dapat mempengeruhi agenda politik, misalnya isu-isu yang harus dibicarakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 2. Terdapat sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa para Anggota perwakilan Rakyat (paling tidak di Negara demokratis, yang menggunakan sistem Distrik, dalam pemilihan umumnya) dipengaruhi oleh opini masyarakat didaerah pemilihannya atas isu-isu yang dianggap menonjol bagi masyarakat daerah tersebut, khususnya jika opini dilingkungan distrik itu relative seragam. 3. Pemungutan pendapat umum (public opini polls) seringkali dimampaatkan oleh administrator dan pejebat-pejebet atasan mereka untuk mendukung kebijekan tertentu. Sikap dan Sumber-Sumber yang Dimiliki Kelompok-Kelompok Masyarakat Perubahan-perubahan tertentu dalam sumber-sumber dan sikap kelompok-kelompok dalam masyarakat diberbagai wilayah terhadap tujuan undang-undang dan output-output kebijaksanaan lembaga-lembaga peleksana memainkan peran yang cukup penting dalam proses implementasi. Dalam kaitan ini biasanya dilemma yang dihadapi para penganjur program apapun yang berusaha untuk mengubah perilaku dari satu atau lebih kelompok sasaran ialah bahwa derajat dukungan publik atas program-program tersebut berbeda-beda dari waktu kewaktu. Biasanya undang-undang itu lahir sebagai akibat dari semakin kuatnya perhatian serta keprihatinan masyarakat terhadap masalah-masalah umum, misalnya masalah pelestarian lingkungan, pelindungan konsumen, atau pembebasan biaya sekolah bagi anak-anak dari keluarga yang kurang mampu. Dapat kita lihat berikut ini kelompok-kelompok masyarakat berinteraksi dengan variable-variabel lain melalui sejumlah Cara tertentu. Pertama, keanggotaan dan sumber-sumber keuangan mereka cenderung berbeda-beda sesuai dukungan public bagi posisi mereka dan lingkungan perubahan perilaku yang dikehendaki oleh tujuan undang-undang. Kedua, kelompok-kelompok masyarakat dapat secara langsung mempengaruhi keputusan-keputusan badan-badan pelaksana melalui pemberian komentar terhadap keputusan-keputusan yang bersangkutan dan melelui sumbangan mereka berupa sumber-sumber yang diberikan pada badan-badan tersebut. Akhirnya, kelompok-kelompok tersebut kemungkinan mampu mempengaruhi kebijaksanaan badan-badan tersebut secara tidak langsung, yaitu melalui publikasi/ penerbitan hasil penelitian yang krisis mengenai prestasi kerja badan-badan tersebut, atau melalui pengumoulan pendapat umum, dan melalui himbawan yang mereka sampaikan pada badan-badan legislative dan yudikatif yang berwenang. Dukungan dari Badan-Badan / Lembaga-Lembaga Atasan yang Berwenang. Lembaga-lembaga atasan dari badan-badan pelaksana dapat memberikan dukungan terhadap tujuan-tujuan undang-undang melelui: 1. Jumlah dan arah pengawasan. 2. Penyediaan sumber-sumber keuangan; dan 3. Banyaknya tugas-tugas baru (sesudah tugas-tugas yang termuat dalam undang-undang yang telah ada) dan saling pertentangan diantara tugas-tugas tersebut. Yang dimaksud lembaga-lembaga atasan dari badan-badan pelaksana disini ialah lembaga–lembaga yang mempunyai wewenang untuk melakukan kontrol terhadap kewenangan hukum dan sumber-sumber keuangan badan-badan pelaksana tersebut. Salah satu kesulitan terbesar dalam implementasi program-program antar lembaga pemerintahan ialah bahwa badan-badan peleksana bertanggung jawab pada lembaga-lembaga atasan yang berlainan yang masing-masing, ingin melaksanakan kebijakan yang berlainan pula. Disatu pihak, komosi-komisi kebijaksanaan dalam DPR menjdai lebih simpati terhadap kelompok-kelompok sasaran, sebagian karena repleksi dari perubahan-perubahan dalam imbangan dukungan kelompok kepentingan dan sebagian karena kasus perseorangan yang terperhatikan dalam pembahasan kasus-kasus masyarakat sehingga makin memperkuat keluhan-keluhan yang disampaikan. Kesepakan dan Kemampuan Kepemimpinan para Pejabat pelaksana Variable yang paling berpengaruh langsung terhadap output kebijaksanaan badan-badan pelaksana ialah kesepakatan para pejabat badan pelaksana terhadap upaya mawujudkan tujuan undang-undang.hal ini sedikit nya terdiri dari 2(dua) komponen;pertama,arah dan ranking tujuan-tujuantersebut dalam skala prioritas pejabat-pejabat tersebut;dan,kedua,kemampuan pejabat-pejabat yersebut dalam mewujudkan prioritas-prioritas tersebut, yakni kemampuan mereka untuk menjangkau apa yang dalam keadaan norma dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber yang tersedia,pentingnya persoalan sikap dan kemampuan ini,tentu saja,tergantung pada luas tidaknya kebebasan bertindak yang dimiliki para administrator. Tahap-tahap dalam proses implementasi (variable tergantung) Sedemikian jauh pembicaraan kita terpusat pada factor-faktor yang mempengaruhi proses implementasi secara keseluruhan, sekalipun demikian, untuk memperjelas persoalannya proses ini haruslah ditinjau menurut tahapan-tahapannya yaitu; 1. Output-output kebijaksanaan (keputusan-keputusan) dari badan-badan pelaksana. 2. Kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap keputusan tersebut 3. Dampak nyata keputusan-keputusan badan-badan pelaksana. 4. Persepsi terhadap dampak keputusan-keputusan tersebut. 5. Evaluasi system politik terhadap undang-undang, baik berupa perbaikan-perbaikan mendasar (atau upaya yang melaksanakan perbaikan dalam muatan atau isinya. Output kebijaksanaan badan-badan pelaksana tujuan-tujuan undang-undang harus diterjemahkan/dijabarkan kedalam peratutra-peraturan khusus,prosedur-prosedur pelaksanaan yang baku untuk memproses asus-kasus tertentu,keputusan-keputusan khusus yang menyangkut penyelesaian sengketa(misalnya Yang Menyangkut ,lisensi),dan pelaksanaan keputusan-keputusan mengenai penyelesaian sengkete itu.meskipun adanya beberapa perbedaan tertentu antara tujuan-tujuan undang-undang dan keputusan-keputusan kebijaksanaan hampir-hampir tidak dapat dihindarkan,perbedaan-perbedaan ini sebenarnya dapat dikurangi jika undang-undang menetapkan tujuan yang jelas dan tegas,menugaskan implementasi pada badan-badan yang bersimpati pada terhadap tujuan-tujuan undang-undang dan bersedia menempatkannya pada prioritas utama,mengurangi jumlah titik-titik veto,menyediakan insentif yang memadai guna menanggulangi penolakan diantara pejabat-pejabat yang tidak patuh/indisipliner,menyediakan sumber-sumber keuanngan yang cukup guna melaksanakan analisis teknis dan memproses kasus-kasus tertentu,dan mempengaruhi aturan-aturan keputusan serta pintu-pintu akses demi tercapazinya tujuan-tujuan program. Atas dasar alas an- alasan seperti itulah dapat dapat kiranya dijukan suatu hipotesis bahwa ---dalam kasus semacam itu---dalam jangka waktu Lima hingga tujuh tahun pejabat-pejabat lembaga atasan atau pejabat-pejabat pelaksana akan cendrung: 1. Mengubah, menunda, atau mengabaikan tujuan-tujuan yang digariskan undang-undang agar diperoleh perubahan-perubahan kecil pada perilakukelompok-kelompok sasaran; atau 2. Mengurangi oposisi melalui berbagai bentuk pembayaran (misalnya subsidi, pemotongan pajak). Dalam kenyataanya, barang kali hanya melalui cara menambah ketentuan undang-undang dengan pembayaran seperti itulah output kebijaksanaan dari badan-badan pelaksana dapat tetap sejalan dengan maksud dan tujuan undang-undang. Keputusan Kelompok Sasaran Terhadap output-output Kebijaksanaan. Studi-studi lain, misalnya yang dilakukan oleh Rodgers dan Bullock (1980) mengungkapkan hal yang kurang lebih Sama, yakni bahwa keputusan seseorang untuk patuh terhadap peraturan/ undang-undang merupakan fungsi dari: 1. Kemungkinan bahwa pelanggaran akan mudah dideteksi dan diseret ke pengadilan. 2. Tersedianya sanksi-sanksi untuk menghukum mereka yang melakukan pelanggaran. 3. Sikap kelompok sasaran terhadap keabsahan (legitimasi) peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. 4. Ongkos/ Beban bagi sasaran kelompok yang patuh. Dampak Nyata Output-output Kebijaksanaan. Dari seluruh perbincangan terdahulu kita telah memusatkan perhatian pada persoalan pencapaian tujuan-tujuan program. Oleh karena itu seharusnyalah kini kita menyadari bahwa suatu undang-undang atau peraturan akan berhasil mencapai dampak yang diinginkan apabila: 1. Output-output kebijaksanaan badan-badan pelaksana sejalan dengan tujuan-tujuan formal undang-undang. 2. Kelompok-kelompok sasaran benar-benar patuh terhadap output-output kebijaksanaan tersebut. 3. Tidak ada penggerogotan terhadap output-output kebijaksanaan tersebut atau terhadap dampak kebijaksanaan sebagai akibat adanya peraturan-peraturan yang saling bertentangan. 4. Undang-undang / peraturan tersebut memuat toeri kausalitas yang andal mengenai hubungan antara perubahan perilaku pada kelompok sasaran dengan tercapainya tujuan yang telah digariskan. Persepsi Terhadap Dampak Output Kebijaksanaan. Walaupun dampak nyata output-output kebijaksanaan badan-badan pelaksana ini merupakan perhatian utama para analisis kebijaksanaan dan para administrator, seringkali dampak nyata kebijaksanaan itu sulit untuk diukur secara komperhensif dan sistematik. Persepsi seseorang mengenai dampak kebijaksanaan tertentu mungkin merupakan fungsi dari dampak nyata yang diwarnai oleh nilai orang yang mempersepsikannya. Lebih lanjut, sejalan dengan teori yang disebut Disonasi Kongnitif (Roger Brown, 1965) seseorang actor yang tidak sepakat terhadap dampak suatu undang-undang yang dipersepsinya akan: 1. Memandanh dampak tersebut sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan tujuan-tujuan undang-undang sebenarnya. 2. Memandang undang-undang itu sebagai sesuatu yang tidak absahdan atau 3. Mempertanyakan kesahihannya (validitas) data yang menyangkut dampak tersebut. Perbaikan (Revisi) Mendasar Dalam Undang-Undang. Mengingat saat ditetapkannya suatu undang-undang (atau keputusan kebijaksanaan lainnya) haruslah dipandang sebagai titik awal bagi analisis implementasi, maka perbaikan atau Repormulasi undang-undang tersebut haruslah dipandang sebagai titik kulminasi dari proses implementasi (walaupun proses ini mungkin berlangsung berulang kali). Lingkup dan arah perubahan atau upaya untuk melakukan perubahan didalam tugas-tugas resmi yang harus dijalankan oleh badan-badan pelaksana akan merupakan fungsi dari persepsi terhadap dampak kegiatan badan-badan itu dimasa lalu; perubahan-perubahan yang berlangsung dalam prioritas-prioritas kebijaksanaan di kalangan masyarakat pada umumnya dan diantara elite-elite yang membuat kebijaksanaan sebagai akibat dari berubahnya kondisi-kondisi sosial, ekonomi; sumber-sumber politik antara kelompok yang bersaing, dan posisi-posisi strategis dari lembaga-lembaga atasan yang mendukung maupun yang menentangnya.
Anda sedang membaca postingan yang berjudul Model-Model Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jangan ragu untuk berkomentar dan berkunjung lagi ke Cici Bon. Salam sukses selalu

ShareThis